sumber: islamidia.com
Tuhan dan Nabi-Nya kerap memotivasi untuk melakukan kebaikan dengan kalimat kausalitas (sebab-akibat). Misal “menolong orang lain”, menjadi musabab (sebab) “Tuhan menolong kesulitan kita” (akibat). Contoh lain, infaq. “Berinfaq (menafkahkan harta) di jalan-Nya” menjadi sebab “memperoleh balasan berkalilipat lebih banyak dari yang diberikan” (akibat). Mengapa demikian?
Salah satu sebabnya barangkali karena manusia kerap menggunakan pola fikir pedagang (untung-rugi) kala berbuat baik. Hal yang mendatangkan keuntungan secara materi maupun non materi lebih disenangi dari pada yang secara kasat mata tidak mendatangkan keuntungan. Sekadar contoh, tahun 2000-an terdapat tayangan reality show “Tolong” yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta.
Dalam tayangan itu, terdapat aktor yang berperan meminta bantuan. Orang lain yang berkenan menolong diberi hadiah sekian uang tunai. Pada suatu episode, aktor bertemu dengan seseorang dan seperti biasa memintanya untuk menolong. Semula, orang yang diminta pertolongan menolak untuk menolong. Sang aktor lalu berpaling meninggalkan. Baru beberapa langkah aktor berlalu, orang tadi memanggil-manggil dan menyatakan bersedia menolong.
Ternyata, setelah crew acara menyelidiki, orang tersebut telah mengetahui bahwa yang meminta pertolongan adalah aktor dari tayangan “Tolong”, sehingga kalau dia menolong akan mendapat uang. Karenanya, sang aktor menolak untuk menerima pertolongannya. Tidak ingin kesempatan mendapat uang hilang, orang tersebut memaksa sang aktor agar mau menerma pertolongannya. Namun sang aktor tetap tidak mau dan segera berlalu.
Memotivasi untuk melakukan kebaikan barangkali kurang memberi pengaruh bila tanpa memberitahu hikmah melakukan kebaikan. Meski, dengan diberitahu hikmah kebaikan tidak selalu berhasil mempengaruhi untuk melakukan kebaikan, misalnya dalam hal menolong orang lain.
Setiap orang yang menolong orang lain yang mengalami kesulitan dengan mencurahkan sebagian waktu, sebetulnya tengah “berinvestasi”, menabung pertolongan bagi diri sendiri. Namun, saat orang lain memerlukan bantuan terkadang kita mengabaikian, atau pura-pura tidak tahu.
Kalaupun pola fikir pedagang yang digunakan saat menolong orang lain maka tidak ada kerugian yang dialami. Menolong orang lain justru membuatnya memiliki “tabungan” pertolongan. Dengan begitu, saat mengalami kesulitan ada pertolongan yang akan diterima melalui cara dan perantara yang dikehendaki-Nya.
Posting Komentar